Aku menemukan cinta
Dulu ibu pernah bilang kalau cinta itu tumbuh dengan perlahan, tidak selalu spontan, seperti benih bunga yang kutanam di halaman belakang. Ia tumbuh bersama dengan terbitnya surya dan lelapnya purnama. Kata ibu aku harus kuat, aku harus tabah. Walaupun terik di bulan Juli membakar kulit dan deras hujan di bulan Desember membuatku tak dapat berkutik, bagi gadis kecil itu menanam dan menjaga cinta bukanlah hal yang sulit.
Di bulan Juli yang aku tahu hanya sekadar nama dan parasmu, kata temanku, tak ada yang dapat menandingi pesonamu. Di bulan Desember, aku percaya akan perkataan temanku, karena aku biarkan cinta tumbuh di dalam ruang yang sempat menjadi jarak antara aku dan kamu. Di tengah tawa dan tangis hidup, aku memilih untuk mencintaimu. Cinta tumbuh tanpa terpaku dengan waktu yang mengikuti langkah kita. Cinta tumbuh dengan tabiat-tabiat kecil. Cinta tumbuh dengan mengetahui makanan kesukaanmu, kegiatan favoritmu, dan cerita tentang dirimu. Cinta tumbuh ketika aku mendapati diriku tersenyum lantaran tingkahmu. Cinta tumbuh tatkala namamu muncul di kepalaku pada sepertiga malam; saat aku sedang memikirkan dunia dan segala isinya, bahwasanya sungguh dermawan sang pencipta telah memberikanku tempat untuk bertumpu, karena sebanyak apapun tempat cinta berasal, aku bersyukur cinta ini datang dari kamu.
— Aku paham betul bahwa sejatinya cinta yang tumbuh tiada yang abadi, yang mekar akan layu, yang hidup akan mati. Suatu saat nanti, eksistensi dua jiwa yang berjalan berdampingan akan berakhir menjadi sekeping memori.
Dan kepingan itu akan aku simpan, aku taruh di sudut kamarku, mengarah ke jendela, tepat di samping tempat tidurku. Walaupun kekekalan tidak berpihak pada kita, ingatan tentangmu abadi dan tertanam dengan indah.