Besok dunia akan berakhir dan kamu masih miliki cinta di sisi
Aku siap ucapkan selamat tinggal jika aku terbangun disambut langit gelap gulita dengan dosa yang menghiasi angkasa. Toh, hidupku isinya tidak jauh-jauh dari malapetaka, jika dunia sudah di ambang batasnya maka aku rela diangkat kapan saja. Hatiku sudah tidak ada wujudnya, bau busuknya menusuk telinga sudah 30 hari lamanya. Bentuknya persis seperti buah delima yang kemarin terjatuh di samping kantung belanjaan kita. Merah pekat dan hancur. Dan aku takut sekali jika kamu menyentuhnya kamu akan ternoda, buah delima itu tak lagi indah seperti rupa awalnya, Matthew.
Namun nyatanya kamu tak apa. Dunia sedang porak-poranda dan yang kamu pedulikan hanya bagaimana caranya menghangatkan tanganku yang membeku kedinginan di luar rumah. Netramu bercakap “lebih baik kita makan bersama,” kamu genggam tanganku dengan jari jemarimu yang berwarna merah pekat. Aku tak sadar sejak kapan noda itu berada di sana. Sejak kapan kamu berikan ampunan kepada hatiku yang sudah tak ada bentuknya. Sejak kapan lengan lembut itu terulur untuk menitipkan padaku bagian dari dirimu yang penuh cinta. Buah delima itu bertanya-tanya mengapa kamu memperlakukannya dengan kasih sayang di saat raganya tak lagi memanjakan mata. Jawabannya tak ada. Tak ada alasan di baliknya, nyatanya kamu memang dibalut dengan baik-baiknya dunia yang sehangat senyummu. Aku menemukan diriku meminta maaf di tengah senandungmu di meja makan, guna menenangkanku dan melupakan bumi yang berada di ambang kematian. Dunia akan berakhir besok tetapi aku masih menemukan kehangatan di dalamnya, dengan kamu menjadi buktinya. Jika suatu saat terangmu akan redup mengikuti alam maka tak apa, karena cinta dan hangatmu tak terukur semesta. Kamu adalah wujud dari apa yang dunia telah semogakan, Matthew.