I always have a room for love

letters i never sent
3 min readOct 31, 2023

--

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, aku tahu satu dua hal tentang emosi. Manusia tersenyum saat bahagia, menangis saat tertawa, berteriak saat marah, ketiga hal itu digenggam erat-erat oleh manusia dan selalu dibawa dimana pun kita berada.

Sekarang aku masih duduk di bangku bermaterial kayu yang sama, tetapi tempatku menuntut ilmu bukan lagi bangunan kecil dengan 2 lantai, lapangan sepak bola bukan lagi pemandangan sehari-hariku kala menoleh ke jendela, digantikan dengan gedung-gedung pencakar langit yang mengingatkanku akan ambisi-ambisi yang ada. Sekarang aku juga masih kenal dengan ketiga emosi yang selalu kugenggam erat, nyatanya ada satu hal yang tidak diajarkan saat aku masih di sekolah dasar. Bahwa kenal saja tidak cukup, aku harus memahami mereka. Bahwa tidak hanya digenggam, aku bisa memeluk mereka, menaruhnya di saku celanaku, atau disimpan di ruang-ruang kosong jiwaku. Bahwa emosi dan perasaan manusia tidak berhenti pada bahagia, duka, dan amarah saja, semesta kita penuh dengan tanda tanya dan begitu pula dengan hal-hal yang dirasakan manusia. Di umur 19 ku aku bertanya-tanya perihal emosi dan perasaan manusia, pertanyaan yang tidak akan terpikirkan oleh bocah berumur 10 tahun namun pertanyaan yang membuatku seperti kembali ke masa itu, tidak paham dunia dan haus akan jawaban.

Menggenggamnya terlalu melelahkan, ditaruh di saku celana bisa jatuh kapan saja. Aku ingin memberikan mereka tempat yang layak, di ruang-ruang yang ada, kutata dengan sederhana namun cukup terasa seperti rumah. Dan aku kembali dibuat bertanya. Ruang-ruang itu kosong nihil penghuninya, tetapi mereka enggan masuk ke sana. Lalu aku harus apa? Mereka harus bagaimana? Aku harus bertanya ke siapa? Bagaimana jika aku harus pikul mereka di atas pundak? Menjadi beban yang menghantui setiap langkahku seraya ruang kosong itu terus-terusan dikuasai hampa yang hidup di dalamnya.

Dikejar-kejar waktu dan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban, lelah dibuatku berlari-lari hingga penghujung dunia mencari ia yang dapat membuat penatku tak sia-sia. Temanku berkata, “dedikasimu luar biasa.” Kujawab dengan “karena ruang itu memang tempat seharusnya mereka berada, tanpa mereka, aku menambah pertanyaan akan eksistensiku sebagai manusia.” Senyum terukir di paras indahnya, temanku menimpal balik, “cinta kamu besar, kamu cinta mereka ya? atau kamu cinta akan eksistensimu di dunia.”

Kamu cinta mereka ya?

Atau kamu cinta akan eksistensimu di dunia?

Cinta kamu besar.

Salah, selama ini aku salah.

Ruang itu tak pernah hampa, ruang itu tak pernah nihil penghuninya, karena aku selalu punya cinta. Aku bergerak akan dasar cinta, aku berbuat akan dasar cinta, aku dapat dihujani seribu pertanyaan “mengapa” dan aku tahu jawabannya tanpa perlu tersesat kehilangan arah, “karena aku cinta.”

Kenapa aku rela habiskan waktuku mencari cara untuk menempatkan mereka di dalam ruang kosongku? Apa karena aku cinta mereka? Emosi-emosi yang telah membuatku menjadi manusia? Atau aku cinta akan eksistensiku sebagai manusia? Pertanyaan yang menghantuiku kian bertambah, tetapi tak apa, sedari lahir aku memang pribadi yang banyak ingin tahunya dan sepertinya aku akan terus bertanya hingga akhir usia.

Sekarang, emosi-emosi itu masih kupikul di atas pundak, aku masih tidak paham mereka, karena hampa masih menguasa. Tetapi tak apa karena di ruang-ruang itu ada cinta, cinta yang membuatku manusia dan menyisihkan tempat untuk mereka saat aku menemukan jawaban. Aku selalu mempunyai ruang untuk cinta.

--

--

No responses yet