Untuk hari esok, mari tetap hidup
Aku mati tiga hari yang lalu dan tidak ada orang yang tahu.
Aku mati tiga hari yang lalu bertepatan dengan badai yang menghantam atap rumahku, lantai kayunya penuh dengan lembar kertas berserakan berisi ambisi-ambisi yang pernah memiliki jiwa, bunga yang layu meraung-raung meminta untuk kusiram dengan sukacita, tak ada kaca karena aku hancurkan hingga ia berserakan dan menyatu dengan pecahan anganku yang sudah tak berupa.
Setiap pagi aku bangun dengan kondisi kaki yang dilumuri darah karena tak sengaja menginjak tiap kepingnya, toh, biarkan saja, nanti juga akan terluka lagi, nanti juga akan pecah lagi, nanti juga akan dibuat hancur lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai ragaku menjadi wadah yang tak bernyawa.
Aku mati tiga hari yang lalu dan aku siap menorehkan tinta terakhirku untuk menutup cerita, yang hasilnya tak sampai lantaran pertemuanku dengan mereka. Aku bertemu mereka dengan hati yang membusuk, pikiran yang kusut, tak lupa disertai jiwa dan mimpi-mimpi yang terlampau kecut. Yang tersisa dari diriku hanyalah cinta yang rajutan benangnya telah rumpang bahkan tak dapat diketahui bentuknya, namun sembilan insan itu bertutur demikian — semua itu tak apa.
Mereka mengajarkanku bahwa hidupku tidak berakhir tiga hari yang lalu, hidupku tidak berakhir saat aku memupuk salah pada diriku yang tak tau apa-apa, hidupku tidak berakhir saat aku mendeklarasikan bahwa aku tak pantas dicinta, hidupku tidak berakhir tak peduli seberapa banyak aku berdoa akan kedatangannya. Karena aku ingin hidup.
Yang ingin kulihat adalah hamparan tanah lapang berisi bunga mawar yang tak membuatku merasa hina ketika aku berdiri di tengahnya, yang ingin kudengar adalah sorak-sorai perayaan keberhasikan melewati satu hari untuk menggapai mimpi yang tak seberapa, yang ingin kuucap adalah senandung apresiasi kepada jiwa yang telah lama berduka, yang ku inginkan adalah hidup untuk menyambut kabar baik dan ucapan selamat karena hidupku tak berakhir saat berpikir sudah waktunya aku membuat upacara perpisahan kepada cinta. Karena aku ingin hidup.
Mereka — kamu, mengajarkanku bahwa aku masih ingin hidup. Aku menerima uluran tanganmu tanpa menyadari kehadiran cinta yang akan menghujaniku tanpa memandang waktu.
Untuk esok ayo bangun pagi, genggam tanganku kita bersama rangkai mimpi, tak perlu terburu-buru, gunakan dan nikmati waktumu, karena selama-lamanya kamu hidup aku dan cintaku akan terus mengalir dengan ceritamu.
Kalau begitu, izinkan aku balas genggam tanganmu, aku tak tahu kejutan apa yang liang bentala hadiahkan untuk kita tapi aku siap melewatinya bersamamu, aku masih banyak takutnya namun dengan hadirmu aku rasa cemas sedikit pun tak apa. Aku ingin hidup lebih lama untuk mendengar guyon dan tawamu, mengucapkan ‘kamu hebat lagi hari ini’ pada akhir hari penuh peluhmu, memanjatkan doa agar kamu senantiasa dikuatkan, menepuk tanganku mengiringi hingar bingar panggung untuk para bintang yang bersinar terang, meminta semesta mengantarkan cinta dengan berbagai wujud yang ada salah satunya baik dan lembutnya dunia, karena aku ingin kita hidup.
Untuk hari esok, mari tetap hidup.